Pemerintah Indonesia melayangkan protes kepada Brunei Darussalam atas
pencatuman puluhan ribu kata Bahasa Indonesia dalam Kamus Bahasa Melayu
yang diterbitkan pemerintah Brunei.
Wakil Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Wiendu Nuryati mengatakan ada sebanyak 62.000 jumlah kosakata
bahasa Indonesia yang dicantumkan dalam Kamus Brunei Melayu Nusantara.
Sejumlah
kata yang dimuat kamus Brunei tak menyertai asal usulnya. Misalnya kata
bude yang definisinya tertulis di KBBI sebagai ibu gede atau kakak
perempuan ibu atau ayah dan juga gudeg, makanan yang dibuat dari buah
nangka muda dan diberi santan. Semua kata-kata itu diambi dari Kamus
Besar Bahasa Indonesia.
Wiendi mengatakan Kementerian Pendidikan
dan Budaya sudah mengajukan keberatan kepada Dewan Pakar dan Bahasa
Brunei Darussalam karena tidak menyebutkan asal kata itu dari bahasa
Indonesia.
"Dengan mengambil 62.000 lebih tanpa pengakuan sumber
tanpa ada menyebutkan acuan dan sebagainya, tentu masalah menjadi kasus
plagiarisme, kita sudah menyatakan protes terhadap dewan bahasa dan
pustaka dari Brunei perihal ini, jelas keberatan dan meminta itu tidak
boleh beredar," kata Wiendu, seperti dimuat dari BBC Indonesia, Selasa (12/8/2014).
Wiendu
menjelaskan pihaknya sudah mengajukan surat resmi ke Brunei. Tim
bentukan pemerintah juga sudah mengkaji dan menyusun dokumen keberatan
yang akan disampaikan kepada pemerintah Brunei dalam pekan ini.
Langkah
pemerintah untuk mengajukan keberatan atas pencantuman kata-kata bahasa
Indonesia dalam Kamus Brunei Melayu Nusantara didukung oleh pakar
bahasa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, R. Kunjana Rahardi yang
mengatakan pencantuman kata dalam kamus harus dicantumkan sumbernya.
Kunjana mengatakan dalam kasus ini pembuktian dapat dilakukan dengan cara merunut asal katanya.
"Dalam
linguistik histioris komparatif itu dapat dipelajari bagaimana sebuah
kata ada akarnya, ada sumbernya yang disebut bahasa proto, nah nanti
bisa dibuktikan apakah kata-kata yang diaku atau yang dianggap sebagai
bahasa Melayu oleh Brunei itu berasal dari kata dalam bahasa Indonesia,
entah itu dari Jawa , Sunda, Batak atau yang lainnya," jelas Kunjana.
Kunjana
mengatakan secara etika akademik, sumber harus dicantumkan, apalagi
pencatuman dalam kamus harus secara jujur menuliskan asal kata, dan itu
berlaku secara universal di berbagai negara.